Selamat datang di blog kami semoga menambah pengetahuan anda

Jumat, 15 Juli 2011

DAIICHI ACCIDENT V

Kecelakaan PLTN di Jepang (5) Print
Dampak Radiologi Kecelakaan PLTN Fukushima
Riwayat Kejadian (file excel)
Pendahuluan
     Kecelakaan nuklir Fukushima 1 di Jepang sudah berlangsung sejak tanggal 11 Maret 2011 dan hingga sekarang masih menyisakan potensi bahaya yang dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia, baik bagi penduduk yang berada disekitar Fukushima-1 maupun bagi penduduk yang berada jauh dari wilayah  station Fukushima bahkan melewati batas Negara.  Hal ini terjadi karena    bahan radioaktif yang terlepas dari instalasi PLTN masuk ke udara dan membentuk awan radioaktif yang bergerak mengikuti arah angin.  Awan radioaktif ini akhirnya akan turun ke permukaan bumi sehingga dapat mengkontaminasi benda-benda dipermukaan bumi termasuk manusia..
     Besarnya awan radioaktif yang tersebar diudara ini semakin bertambah dengan bertambahnya jumlah pelepasan dari reaktor yang mengalami kecelakaan yaitu Fukushima Unit 1, Unit 3, Unit 2, dan terakhir unit 4 berturut-turut pada tanggal 12  Maret 2011, 14 Maret, 15 Maret diikuti kebakaran pada penyimpan elemen bahan bakar bekas yang melepaskan bahan radioaktif.
     Walaupun kecelakaan yang terlihat adalah dalam bentuk ledakan hidrogen, namun pengamatan menunjukkan adanya lepasan radioaktif yang menyebabkan naiknya laju dosis di lokasi. Tercatat pada tanggal 15 Maret pukul 00.00 laju dosis sebesar 11.9 milliSievert (mSv) per-jam dan enam jam kemudian yaitu pada tanggal 15 Maret pukul 06.00 tercatat dosis sebesar 0.6 mSv. Hal ini menunjukkan penurunan.  Akan tetapi sebelumnya telah dilaporkan hasil pengamatan laju dosis sebesar 100 milliSievert dan 400 mSv di lokasi.   Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pelepasan bahan radioaktif di PLTN Fukushima sangat fluktuatif  sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di teras reaktor ke empat reaktor yang mengalami kecelakaan.  Sampai pada tanggal 17 Maret 2011 Badan otoritas Jepang masih mengklasifikasikan kejadian di Fukushima Unit satu berada pada level 4  International Nuclear and Radiological Event Scale (INES) “Kecelakaan dengan konsekuensi local.”  Akan tetapi pada tanggal 18 Maret 2011 Badan otoritas Jepang telah menetapkan klasifikasi kejadian Fukushima Unit 1 berada pada level 5 yaitu ”Kecelakaan dengan dampak yang lebih luas”. Artinya ada kemungkinan terjadi kerusakan berat pada teras reaktor dan disertai dengan peningkatan jumlah paparan yang significant mengenai penduduk. 
     Dengan semakin besarnya paparan radioaktif yang terlepas ke udara akan semakin besar pula dampak radiologi yang akan mengenai penduduk di sekitar PLTN maupun di Negara lain yang cukup jauh akan terkena paparan termasuk ke Indonesia. Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan kajian tentang besarnya lepasan radioaktif yang telah menyebar di kota-kota di Jepang dan analisis kemungkinan dampaknya ke Indonesia.  Namun terlebih dahulu perlu dipahami pengertian dampak radiologi secara umum seperti dalam uraian berikut ini.
Dampak radiologi
     Dampak radiologi terhadap manusia dan lingkungan (sebagai end-point) terjadi oleh adanya proses interaksi  antara radiasi pengion yang berasal dari luar (external)  maupun dalam tubuh (internal)  dengan bahan sel biologi.  Interaksi tersebut akan menyebabkan perubahan pada DNA sel biologi seperti kematian sel atau mutasi sel.  Akan tetapi secara ilmiah setiap sel memiliki kemampuan untuk memperbaiki perubahan yang terjadi pada DNA.  Hal ini berarti sebagian besar perubahan yang terjadi pada molekul tidak menimbulkan kerusakan, kecuali untuk  sel yang gagal melakukan perbaikan (Wiryosimin 1995).
     Bila dampak radiasi terjadi secara langsung terhadap sel penerima disebut dampak somatik, akan tetapi bila dampak atau efek baru muncul  pada keturunannya disebut juga akibat herediter atau genetik. Ditinjau dari sifatnya dampak biologi dibagi dalam dampak deterministik (non-stokastik) dan akibat stokastik.  Akibat deterministik ditandai dengan adanya dosis minimum tertentu yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tingkat kerusakan bertambah oleh bertambahnya dosis, dan adanya keterkaitan yang jelas antara penyebab dan akibat.  Pada penyinaran yang kecil dari satu Sievert (Sv) umumnya jaringan sel belum menunjukkan gejala klinis yang nyata kecuali pada organ berikut (ICRP 1990):
a) Gonad yang akan steril sementara bila terkena 0.15 Sv dan steril menetap bila terkena 3 Sv.
b) Tulang belakang yang akan mengalami gangguan pembentukan darah pada dosis 0.5 Sv.
c) Lensa mata yang akan menyebabkan kebutaan setelah beberapa tahun terkena penyinaran,
     Pada penerimaan diatas 1 Sv, dengan waktu pajanan beberapa jam, maka dampak disebut sebagai sindrom radiasi akut yang ditunjukkan dalam
  • bentuk gangguan darah dan jaringan otot oleh terkena dosis 1 -10 Sv,  antara lain nausea, muntah (vomiting) dan lemas biasa, dan mungkin juga erithema awal (kulit memerah)
  • bentuk gangguan gastrointestinal bila terkena dosis 10-30 Sv mengakibatkan kerusakan pada mucosa intestinal dengan diawali tanda-tanda yang sama seperti pada gagguan darah dan otot, tetapi dimulai lebih awal dan jelas.
  • bentuk gangguan pusat syaraf bila terkena dosis lebih 30 Sv.
     Demikian pula untuk dosis 3 – 5 Sv dapat menyebabkan síndrome kulit. Dampak kematian seketika terjadi bisa seseorang menerima dosis sebesar 100 Sv, sedangkan dosis yang juga menyebabkan kematian dalam kurun waktu 1 hari sampai 1 minggu.   
     Akibat stokastik adalah akibat yang terjadi berdasarkan kemungkinan (probabilitas)  yang dapat dialami oleh penerima, atau dalam hal  genetik, yang dialami oleh salah satu keturunan. Probabilitas kejadian berbanding linier dengan dosis namun tingkat keparahannya tidak tergantung dari dosis, contoh efek karsinogenik dan hereditary (Wiryosimin 1995; IAEA 1988).  Efek stokastik umumnya dinyatakan dalam jumlah kasus kejadian kanker (morbidity) atau kanker fatal (mortality) per unit dosis.
Kondisi dosis di kota-kota di Jepang
     Hingga tanggal 18 Maret 2011 tercatat dosis radiasi rata-rata tertinggi di kota di luar Fukushima adalah sebesar  0.204 μSv/jam yaitu di kota Mito,  Ibaraki yang berjarak 153 km dari Fukushima dan pada bagian Selatannya. Sedang bagian yang terendah adalah sebesar 0.020 μSv/jam yaitu di kota Aomori dengan jarak 336 km di sebelah utara Fukushima.  Besaran dosis ini memiliki trend menurun sejalan dengan semakin jauhnya jarak seperti yang terlihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Dosis radiasi sebagai fungsi jarak yang diukur di berbagai kota di Jepang  
     Sesuai dengan peraturan internasional dan nasional, masyarakat tidak dibolehkan menerima dosis rata-rata 1 mSv per tahun atau 1000 μSv/tahun, sementara itu, pekerja di kawasan radiasi ditetapkan tidak boleh menerima lebih dari 50mSv per tahun atau 50000 μSv/tahun  Hal ini berarti dosis yang sampai ke lokasi sekitar PLTN Fukushima masih berada dibawah standard yang ditetapkan.  Oleh karena itu belum secara nyata mendapat akibat dari paparan dosis radiasi yang sampai di setiap kota di Jepang.
Sesuai dengan catatan pengukuran bahwa di Fukushima pernah tercatat dosis sebesar 100 miliSv dan 400 miliSv di lokasi PLTN, hal ini telah diantisipasi dengan melakukan evakuai penduduk menjauhi radius 30 km.  Hasil pengukuran menunjukkan bahwa dosis radiasi rata-rata di Yamagata yang berjarak 55 km dari Fukushima adalah sebesar 0.044 μSv/jam, artinya dosis ini telah jauh manurun dibandingkan dengan catatan dosis di Fukushima itu sendiri.
Antisipasi penanggulangan dampak di Indonesia
     Dilihat dari segi jarak antara lokasi kejadian di Fukushima,  Jepang dengan tempat terdekat ke Indoensia yaitu Sulawesi Utara adalah sekitar 4850 km atau Jakarta sekitar 6000 km maka dengan menggunakan persamaan dispersi atmosfir sederhana saja dapat dikatakan dampak tersebut hampir tidak ada.  Apalagi dengan aliran udara yang harus melewati daerah tropis yang relatif lebih panas dan bertekanan lebih tinggi dibanding dengan daerah sub tropis yang menyebabkan sulitnya awan radiaktif mencapai Indonesia. Demikian juga arah angin yang umumnya menuju utara atau Timur membuat lepasan radioaktif menjauh dari arah Indonesia membuat pelepasan bahan radioaktif sampai ke Indonesia semakin sulit.
     Demikian pula umumnya dispersi pelepasan bahan radioaktif di udara dibatasi hanya pada jarak 1000 km dari sumber emisi sehingga dampaknya diperhitungkan untuk zona local (<100 km) dan regional (<1000 km) [Markadya, 1999].  Hanya sedikit bahan radioaktif seperti Tritium (H-3), Carbon-14 dan Krypton-85 yang mungkin terdispersi melalui atmosfir dan laut global.
     Upaya penanggulangan (protective action) bagi penduduk  dekat dengan Fuskushima telah diawali dengan  mencari tempat perlindungan (sheltering) sementara kemudian diikuti dengan evakuasi dari jarak 3 km, 10 km, 20 km dan saat ini mencapai 30 km.  Langkah ini adalah untuk menghindarkan penduduk dari dampak segera radioaktif berdosis tinggi.  Dalam waktu bersamaan juga kepada masyarakat disekitar Fukushima diberikan Tablet Iod untuk menangkap unsur Yodium yang masuk melalui sistem pernafasan sehingga terhindar dari kanker gondok.  Bagaimana antisipasi penanggulangan dampak radiologi  di Indonesia?
     Walaupun kemungkinan terkena paparan langsung dari pelepasan radioaktif Fukushima sangat kecil sekali, namun langkah antisipatif harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui langkah evaluasi radioaktivitas lingkungan.
     Langkah evaluasi terhadap lingkungan dilakukan dengan melakukan perkiraan dosis secara teoritik dan pengukuran (IAEA 1997).  Kemudian hasil pengukuran ini dibandingkan terhadap dosis tingkat interfensi operational (Operational Intervention Level,   OIL).  Salah satu contoh dapat dilihat pada Tabel  1 menunjukkan salah satu upaya penanggulangan publik berdasarkan proyeksi dan pengukuran bungkah radionuklida (IAEA 1997).  
      Evaluasi radioactivitas lingkungan dilakukan untuk memonitor dosis yang sudah sampai ke lingkungan  sehingga dapat diketahui laju dosis ambang di sekitar lokasi pantauan, konsentrasi radionuklida di udara, peta penyebaran unsur 131I dan 137Cs dan secara khusus  Tritium (H-3), Carbon-14 dan Krypton-85, campuran isotop yang terdeposisi dan konsentrasi radionuklida pada contoh makanan. Adapun lokasi pengukuran yang disarankan untuk dilakukan diwilayah-wilayah Indonesia yang relatif dekat dengan sumber pelepasan yaitu Fukushima Sulawesi Utara, Kalimantan Utara  dan Irian Utara.     
Tabel 1  Upaya penanggulangan berdasarkan proyeksi dan pengukuran
Basis
Oil
Kriteria Dasar
Upaya Penanggulangan
Proyeksi
 
Proyeksi menunjukkan bahwa tindakan perlindungan penting diambil
Perlindungan dalam gedung dan persiapan evakuasi pada jarak yang disesuaikan dengan proyeksi
Laju dosis ambang pada bungkah
1
1 mSv/jam
Evakuasi atau siapkan shelter untuk sektor ini, kedua sektor yang terdekat dan sektor yang terdekat dengan instalasi.
2
0.2 mSv/jam
Minum zat penaham thyroid jika ada, tutup jendela dan pintu dan monitor radio dan TV untuk instruksi selanjutnta
Sumber : IAEA (1997b)              
Kesimpulan
Kecelakaan nuklir yang terjadi di Fukushima belum menyebabkan dampak radiologi  yang signifikan  bagi masyarakat kota selain di Fukushima sekitar mengingat dosis hasil pengukuran menunjukkan nilai yang masih di bawah standard. Hal ini memberi keyakinan bagi kita bahwa Indonesia yang memiliki jarak terdekat dengan Fukushima sebesar 4850 km di Sulawesi Utara dan jarak ke Jakarta sejauh 6000 km tidak akan mengalami dampak yang berarti.
Sesuai dengan perkembangan tingkat kecelakaan Fukushima saat ini dinyatakan telah mencapai level 5, maka kewaspadaan perlu terus dilakukan untuk mengantisipasi naiknya paparan dari kecelakaan nuklir walaupun secara teoritis penyebaran bahan radioaktif tersebut tidak akan sampai ke Indonesia. Langkah yang dapat dilakukan sebagai upaya antisipasi adalah dengan melakukan pengukuran pengukuran di daerah yang dianggap dekat dan sensitive terhadap naiknya paparan radiasi.
Daftar Pustaka
[1] Wiryosimin,  S. 1995. Mengenal Asas Proteksi Radiasi. Penerbit ITB. Bandung
[2] Markandya A, Boyd R., “Valuing The Human Health Effects Of Routine Atmospheric Releases From Nuclear Facilities, IAEA Vienna, 1999
[3] Markandya A., Taylor T., The External Costs of Nuclear Accidents,  Contract number: BC: 100 1010 5410 C103221 (Task 2), IAEA, Vienna. 1999
[4] IAEA. 1997b. Generic Procedures For Determining Protective Actions During Reactor Accidents. TECDOC-955. IAEA. Vienna.
Table 1: Hasil pengukuran dosis rata-rata dalam selang jarak 100 meter
Jarak
Kota
Dosis rata-rata
(mikroSv/jam)
0-100
Fukushima
Pernah mencapai 100000-400000
Yamagata
0.044
Miyagi-Sendai
0.000
101-200
Niigata
0.047
Tochig-Utsunomiya
0.182
Ibaraki-Mito
0.204
Shiga-Otsu
0.033
201-300
Akita
0.034
Saitama
0.048
Iwate-Morioka
0.029
Nagano-Nagano
0.078
Chiba-Ishibara
0.036
Tokyo
0.050
Kanagawa
0.052
Yamanashi-Kohu
0.044
301-400
Toyama-Imizu
0.048
Aomori
0.020
Shizuoka
0.038
Ichikawa-kanazawa
0.047
401-500
Gifu-Kakumuhara
0.060
Fukui
0.046
Aichi-Nagoya
0.039
Mie-Yokkaichi
0.048
501-600
Shiga-Shiga
0.041
Kyoto
0.038
Nara
0.047
Osaka
0.042
Hyogo-Kobe
0.037
Hokkaido-Sapporo
0.028
601-700
Tottori-Tohhaku
0.058
Wakayama
0.032
Tokushima
0.038
Okayama
0.050
Kagawa
0.052
701-800
Shimana-Matsue
0.036
Kochi
0.026
801-900
Hiroshima
0.049
Ehime
0.049
Yamaguchi
0.095
901-1000
Oita
0.050
1001-1100
Fukuoka
0.037
Kumamoto
0.027
Miyasaki
0.027
Nagasaki
0.029
1101-2000
Kagoshima
0.034
Okinawa
0.021


Sumber : Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir, Gd. 80 Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar