Selamat datang di blog kami semoga menambah pengetahuan anda

Jumat, 15 Juli 2011

DAIICHI ACCIDENT II

Kecelakaan PLTN di Jepang (2)
Benarkah Reaktor Fukushima Daiichi Meledak
Riwayat Kejadian (file excel)
Kompleks PLTN Fukushima Daiichi mempunyai enam buah PLTN, yaitu PLTN unit 1 – 6, yang dioperasikan oleh Tokyo Electric Power Company. PLTN unit 4, 5 dan 6 sedang dalam kondisi perawatan, sedangkan PLTN unit 1, 2 dan 3 sedang beroperasi normal. Gempa laut Sendai pada Jumat 11 Maret 2011 pukul 14:46 secara mendadak memicu sistem Safe Shutdown Earthquake dari tiga PLTN yang sedang operasi di kawasan Fukushima Daiichi untuk memadam reaktor secara otomatis. Semua sistem keselamatan beroperasi normal pada saat gempa terjadi hingga kemudian mengalami kegagalan setelah dilanda tsunami satu jam kemudian setelah gempa.
Gambar 1: Peluruhan panas setelah reaktor padam (shutdown)
Setelah reaktor padam secara otomatis reaksi fisi praktis tidak berlangsung lagi dan pembangkitan panas fisi terhenti, tetapi dalam reaktor masih tersimpan panas sisa dan panas peluruhan yang harus didinginkan terus menerus agar energi panasnya terbuang habis. Energi panas sisa dapat segera terbuang dalam orde beberapa menit saja, tetapi panas peluruhan masih terus dibangkitkan hingga jangka waktu yang lama. Panas peluruhan adalah panas yang dibangkitkan karena peluruhan radiasi dari zat radioaktif yang berada dalam bahan bakar reaktor. Besarnya pembangkitan panas peluruhan maksimum dapat mencapai 6,5% dari daya termal nominal reaktor, dan bersamaan dengan berjalanannya waktu akan meluruh menjadi di bawah 1% dalam jangka waktu yang cukup lama (lihat Gambar 1). Panas peluruhan ini harus dibuang secara kontinu agar tidak memanaskan struktur bahan bakar dan teras sehingga mengalami overheat atau bahkan meleleh. Dengan perkiraan rata-rata panas peluruhan 1%, maka setelah reaktor padam, dalam PLTN Fukushima Daiichi unit 1 akan dibangkitkan panas peluruhan 13,5 MWt, dan pada PLTN unit lainnya 22,4 MWt. Sebagai catatan energi panas sebesar 10 MWt dalam satu detik dapat menaikkan temperatur satu ton (1 m3) air setinggi 2,4 C dari temperatur awalnya 25 C.
Dalam kondisi operasi normal, setelah PLTN tipe BWR padam, pengambilan panas sisa dan panas peluruhan dilakukan oleh Residual Heat Removal System (RHRS) dengan prinsip kerja seperti ditunjukkan pada Gambar 2. RHRS akan bekerja terus menerus paska reaktor padam. Pengoperasian RHRS membutuhkan catu daya listrik karena menggunakan beberapa pompa listrik sebagai mesin penggerak fluida.
Sesaat setelah gempa, pasokan arus listrik AC dari luar padam, dan listrik AC dipasok oleh diesel genset. Setelah lokasi kompleks PLTN Fukushima Daiichi dilanda tsunami, diesel genset tak dapat beroperasi sehingga seluruh PLTN mengalami kehilangan catu daya listrik AC yang berasal dari diesel genset. Diesel genset yang tersedia gagal karena tersapu oleh air tsunami. Kegagalan ini melumpuhkan semua sistem pendinginan PLTN yang membutuhkan catu daya listrik AC, sebagai akibatnya pengambilan panas peluruhan tidak dapat dilakukan secara sempurna. Panas peluruhan inilah yang menjadi potensi bahaya karena memeliki energi panas yang mencukupi untuk memanaskan struktur pembentuk teras reaktor yang terdiri dari bahan bakar dan bahan kendali hingga pada temperatur oksidasinya bahkan lebih dari itu dapat melelehkannya.
Gambar 2: Diagram alir sistem pengambilan panas sisa dan peluruhan
Panas peluruhan yang tidak dibuang keluar dari sistem reaktor akan memanaskan air dalam bejana reaktor (reactor vessel) hingga titik uapnya. Penguapan air bejana reaktor akan meningkatkan tekanan bejana reaktor hingga katup pengaman/pembebas (safety/releaf valve) membuka untuk membuang uap keluar dari bejana reaktor, akibatnya volume air dalam bejana berkurang dan terdapat bagian bahan bakar yang tidak tercelup air sebagai pendingin. Bagian bahan bakar dan bahan lain penyusun struktur teras reaktor yang tak tercelup air akan menjadi bertambah panas karena tak terdinginkan, hingga mencapai temperatur oksidasinya di atas 1000 OC. Ketersediaan uap air dan temperatur bahan bakar dan bahan struktur teras lain yang mencapai temperatur oksidasinya akan menyebabkan pengambilan oksigen dari uap air melalui proses oksidasi dan menghasilkan gas hidrogen, suatu gas yang mudah terbakar jika bertemu oksigen. Reaksi oksidasi yang terjadi bersifat eksotermis sehingga akan lebih meningkatkan temperatur ruang dalam bejana reaktor bersama semua isinya.
Sistem penghalang ganda adalah sistem yang berfungsi untuk mengungkung zat radioaktif dalam segala kondisi, baik normal maupun kecelakaan. Dalam berbagai kondisi apapun, sistem penghalang ganda harus diperjuangkan keutuhannya agar zat radioaktif tidak bocor keluar. PLTN tipe BWR dengan teknologi pengungkung (containment) MARK-I mempunyai konsep penghalang ganda seperti gambar berikut ini.
Gambar 3: Konsep sistem penghalang ganda pada PLTN dengan teknologi MARK-I
PLTN Fukushima Daiichi unit 1 – 6 mempunyai sistem pengungkung teknologi MARK-I, dengan penghalang ganda berupa (1) kelongsong bahan bakar (fuel cladding), (2) bejana reaktor (reactor vessel), (3) pengungkung primer (primary containment), (4) pengungkung sekunder (secondary containment) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3(a).  Kelongsong bahan bakar mewadahi pelet bahan bakar terbuta dari zirkalloy. Bejana bahan bakar terbuat dari baja setebal lebih-kurang 15-20 cm. Pengungkung primer terbuat dari baja dengan ketebalan sekitar 7 cm, sedangkan pengungkung sekunder berwujud bangunan gedung reaktor yang terbuat dari beton dengan ketebalan berkisar 1-2 meter, lihat Gambar 6(b).
Pada kasus PLTN tipe BWR Fukushima Daiichi unit 1 dan 3, panas peluruhan tidak dapat secara efektif dibuang keluar sistem karena RHRS tak dapat bekerja, sehingga panas tersebut menguapkan air pendingin yang tersisa dalam bejana reaktor dan memanaskan kelongsong zirkaloy hingga pada temperatur oksidasinya. Hasilnya adalah terbentuknya gas hidrogen, dengan mekanisme reaksi yaitu oksigen dalam uap air beroksidasi dengan bahan kelongsong zirkonium, dan bahan struktur lainnya, sehingga menyisakan hidrogen sebagai gas. Reaksi oksidasi bersifat eksotermis yang akan meningkatkan temperatur dan tekanan bejana reaktor, demikian pula dengan pembentukan gas hidrogen. Gas hidrogen akan meningkatkan tekanan dan temperatur bejana reaktor. Jika pada suatu saat, tekanan dalam bejana reaktor melebihi batas ketentuan tekanan terbukanya katup pembebas, maka gas dalam bejana reaktor akan dibebaskan ke ruang pengungkung primer secara otomatis melalui katup pengaman/pembebas. Dengan cara ini tekanan bejana reaktor akan selalu terkendali. Gas hidrogen dan uap air yang dibebaskan dari bejana reaktor akan terakumulasi dalam ruang pengungkung primer. Akumulasi uap dan gas hidrogen akan mengancam integritas pengungkung primer melalu kondisi tekanan berlebih maupun massa kritis hidrogen yang bila tercapai akan menyebabkan hidrogen meledak. Dalam prosedur mitigasi kecelakaan PLTN BWR teknologi MARK-I, telah diketahui bahwa salah satu cara untuk menjaga integritas pengungkung primer adalah dengan melakukan “venting”, yaitu membebaskan sebagian uap dan gas hidrogen dari ruang pengungkung utama ke ruang gedung reaktor (pengungkung sekunder) dengan konsekuensi akan terjadi pembakaran gas hidrogen yang menimbulkan ledakan. Proses “venting” inilah yang menimbulkan ledakan pada PLTN Fukushima Daiichi unit 1 dan unit 3. Proses venting ini akan membebaskan sebagian zat radioaktif yang tercampur dalam uap dan gas hidrogen dalam kuantitas yang masih dapat dikendalikan. Risiko ini jauh lebih ringan daripada membiarkan tekanan dalam pengungkung primer bertambah terus sehingga integritas pengungkung utama terancam. Studi keselamatan PLTN BWR telah membahas bahwa langkah “venting” ini adalah suatu langkah mitigasi kecelakaan yang mempunyai risiko terkecil. Prosedur venting inilah yang dilakukan oleh TEPCO untuk memitigasi kecelakaan akibat sistem pendingin panas peluruhan tidak bekerja.


Sumber : Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir, Gd. 80 Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar